Kamis, 28 Januari 2010

Cara menasehati orang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sepucuk surat berasal dari Kuwait, dikirim oleh seseorang yang mengeluhkan saudaranya, ia menyebutkan bahwa saudaranya itu melakukan kemaksiatan dan telah sering dinasehati, tapi malah semakin terang-terangan. Pengirim surat mengharap bimbingan mengenai masalah ini.

Jawaban
Kewajiban sesama muslim adalah saling menasehati, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya." [Al-Ma'idah : 2]

Dan ayat,

“Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran." [Al-'Ashr : l-3]

Serta sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia,

“Agama adalah nasehat." Ditanyakan kepada beliau, "Kepada siapa ya Rasulullah?" beliau jawab, "Kepada Allah, kitabNya, RasulNya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin lainnya."[1]

Kedua ayat dan hadits mulia ini menunjukkan wajibnya saling menasehati dan saling tolong menolong dalan kebaikan serta saling berwasiat dengan kebenaran. Jika seorang muslim melihat saudaranya tengah malas melaksanakan apa yang telah diwajibkan Allah atasnya, maka ia wajib menasehatinya dan mengajaknya kepada kebaikan serta mencegahnya dari kemungkaran sehingga masyarakatnya menjadi baik semua, lalu kebaikan akan tampak sementara keburukan akan sirna, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar." [At-Taubah : 71]

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pun telah bersabda

"Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, dan jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman."[2]

Maka anda, penanya, selama anda menasehatinya dan mengarahkannya kepada kebaikan, namun ia malah semakin menampakkan kemaksiatan, maka hendaknya anda menjauhinya dan tidak lagi bergaul dengannya. Di samping itu, hendaknya anda mendorong orang lain yang lebih berpengaruh dan lebih dihormati oleh orang tersebut, untuk turut menasehatinya dan mengajaknya ke jalan Allah. Mudah-mudahan dengan begitu Allah memberikan manfaat. Jika anda mendapati bahwa penjauhan anda itu malah semakin memperburuk dan anda memandang bahwa tetap menjalin hubungan dengannya itu lebih bermanfaat baginya untuk perkara agamanya, atau lebih sedikit keburukannya, maka jangan anda jauhi, karena penjauhan ini dimaksudkan sebagai terapi, yaitu sebagai obatnya. Tapi jika itu tidak berguna dan malah semakin memperparah penyakitnya, maka hendaknya anda melakukan yang lebih maslahat, yaitu tetap berhubungan dengannya dan terus menerus menasehatinya, mengajaknya kepada kebaikan dan mencegahnya dari keburukan, tapi tidak menjadikannya sebagai kawan atau teman dekat. Mudah-mudahan Allah memberikan manfaat dengan itu. Inilah cara yang paling baik dalam kasus semacam ini yang berasal dari ucapan para ahli ilmu.

[Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, juz 5, hal. 343-344, Syaikh ibnu Baz]

APA YANG DIMAKSUD DENGAN HIKMAH?

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa yang dimaksud dengan hikmah? Dan bagaimana seorang muslim bisa menyandangnya?

Jawaban
Hikmah adalah keselarasan dalam bersikap dan menetapkan. Kesalahan bersikap berarti bertolak belakang dengan hikmah. Karena itu, sebagian dai yang berdakwah tanpa hikmah, ketika melihat seseorang yang dinilainya mungkar, ia akan menjelekkannya dan meneriakinya. Contohnya: Ketika melihat seseorang masuk masjid lalu langsung duduk tanpa shalat tahiyyatul masjid lebih dulu, ia akan meneriakinya. Demikian yang tanpa hikmah. Tapi yang dengan hikmah, tidak akan begitu. la akan menjelaskannya kepada orang tersebut dan menguraikan haditsnya. Demikian juga yang dilakukan dalam perkara-perkara yang wajib dan yang haram serta lainnya.

Dan begitu pula dalam sikap-sikap khusus yang berhubungan dengan manusia, seperti dalam bidang keuangan, harus pula dengan hikmah. Berapa banyak orang yang boros dan berhutang hanya untuk hal-hal yang tidak penting dan tidak mendesak.

PENJELASAN AYAT (TIADALAH ORANG YANG SESAT ITU AKAN MEMBERI MUDHARAT KEPADAMU APABILA KAMU TELAH MENDAPAT PETUNJUK)


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ketika dikatakan kepada seseorang, "Kenapa anda tidak merubah kemungkaran ini?" atau "Kenapa anda tidak menasehati keluarga anda untuk meninggalkan kemungkaran ini?" lalu orang tersebut menyebutkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk." [Al-Ma'idah : 105]

Bagaimana jawaban Syaikh?

Jawaban
Ayat ini adalah ayat muhkamah, ayat ini tidak dihapus hukumnya, namun orang yang berdalih dengan ayat ini telah salah faham. Dalam ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan

"Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk." [Al-Ma'idah: 105]

Di antara petunjuk itu adalah menyuruh manusia berbuat baik dan mencegah kemungkaran sesuai kesanggupan. Jika meninggalkan amar ma'ruf nahi mungkar tidak disebut telah berpetunjuk, karena jika telah tampak kemungkaran pada suatu kaum lalu ia tidak berusaha merubahnya, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan siksaan secara umum yang menimpa semua orang (yang baik dan yang buruk).

[Alfazh wa Mafahim fi Mizanisy Syari'ah, hal. 33 Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
_________
Footnotes
[1]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman (55). Al-Bukhari mengomentarinya pada kitab Al-Iman.
[2]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman (49).

Sumber : www.almanhaj.or.id

Sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=994707
Thanks to Agan: UnknownIdent

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
>