Selasa, 26 Januari 2010

Larangan memberi kepada pengemis – Bikin serba salah!



Sekarang kita kudu hati-hati kalo ingin memberi sedekah kepada para pengemis jalanan. Karena, alih-alih ingin berbuat baik, namun malah kena denda puluhan juta dari Pemda. Serba salah!

Yaa, sekarang kita udah gak bisa seenak udel memberikan sedekah kepada pengemis ataupun membeli sesuatu kepada pedagang asongan di jalanan. Karena Pemda telah merevisi Perda No.11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum yang dianggap tidak memadai menghadapi perkembangan kondisi sosial Ibu Kota.

Dalam peraturan barunya itu yang termuat dalam pasal 40, Pemda membuat larangan penduduk memberi sedekah kepada pengemis, maupun melakukan aktivitas mengemis. Namun, dalam pasal itu, gak hanya mengemis aja yang dilarang, melainkan juga mengamen, mengasongkan dagangan, dan mengelap mobil di tempat umum. Bagi pelaku dan mereka yang memberikan uang, terancam denda Rp.100 ribu sampai Rp.20 juta atau kurungan penjara dua bulan.

Selain itu, terdapat juga larangan menjadi joki three in one, menjadi PSK, penyedia PSK, pengguna PSK dan larangan mengidap penyakit yang meresahkan masyarakat untuk memasuki tempat umum.

Banyak yang beranggapan ini adalah suatu cara yang salah dalam menekan kesemrawutan tata sosial di Jakarta, masyarakat juga semakin menjadi serba salah, logikanya, masa berbuat baik salah sih.
Di mata para penggede-penggede pemerintahan daerah, ini adalah cara yang jitu buat merapikan ibu kota dari serbuan para pengemis jalanan.
Namun, apakah benar harus dengan cara seperti ini?


Fake or Not!

Yang membuat Pemda akhirnya merevisi Perda No.11 tahun 1988, adalah dengan semakin maraknya para pengemis gadungan yang terorganisir. Mereka bukanlah para penduduk yang berada dibawah garis sosial, namun hanyalah oknum-oknum yang ingin mendapat keuntungan dengan mengandalkan belas kasihan orang lain, dan rela membuat nama pengemis ataupun orang-orang jalanan yang sebenarnya menjadi suatu gambaran buruk dari sebuah manipulasi.

Sebuah stasiun televisi pernah membuat liputan dengan cara hidden dengan mengikuti kehidupan para pengemis di daerah Senayan, setelah selesai para pengemis itu melakukan aksinya, mereka pun berkumpul di bawah sebuah pohon besar tempat base camp mereka untuk berganti pakaian, dan alangkah terkejutnya ketika setelah mereka keluar telah berganti rupa menjadi seseorang yang berpakaian necis dan rapi, sangat berbeda 180 derajat dari beberapa waktu sebelumnya, sungguh pemandangan yang ironis.

Sekarang, emang udah sangat sulit membedakan mana pengemis yang asli dan mana pengemis yang sebenernya. Karena, kini mereka udah berbaur menjadi satu, dan gak ada tanda-tanda khusus perbedaannya. Namun yang pasti, kalo kalian nemuin pengemis dengan motif memberikan amplop atau kertas, dan di amplop tersebut terketik tulisan buatan komputer atau fotokopian, seharusnya kalian udah bisa berfikir cermat. Mana ada pengemis sungguhan yang punya komputer dirumahnya, bukan? Pengemis cinta mungkin, tapi untuk pengemis yang makan sesuap nasi aja jarang, itu adalah hal mustahil bila tidak adanya sebuah organisasi hitam dibalik semua itu. That’s Fake!


Solusi

Sebenernya, tanpa direvisi, Perda No.11 tahun 1988 udah cukup kuat untuk membereskan masalah para pengemis di jalanan, namun yang menjadi Perda itu gak jalan adalah karena para aparat-aparatnya yang nggak sigap, hingga peraturan tersebut menjadi tidak efektif. Sehingga kini akhirnya harus dibuat revisi Perda baru, yang mungkin merugikan bagi sebagian orang.
Dengan hadirnya Perda baru ini, maka banyak pula pro dan kontra yang bakal terjadi seputar masalah ini. Apalagi untuk para penuntut HAM, ini adalah sasaran empuk untuk memperjuangkannya. Sedangkan untuk para pengemis jalanan sungguhan, mereka gak tau harus berbuat apa.

Banyak hal yang harus Pemda lakukan sebagai dampak dari Perda baru mereka. Karena mereka gak boleh hanya melepas tangan dari akibat yang ditimbulkan Perda baru tersebut.

Solusi yang tepat adalah dengan memperbanyaknya rumah singgah ataupun sanggar-sanggar yang aktif untuk melatih dan menampung para pengemis ataupun anak jalanan, jangan hanya untuk formalitas aja, bukti nyata program pelatihan para pengemis itu pun harus diprioritaskan, agar mereka tidak kembali menjadi pengemis yaitu manusia yang dianggap mengganggu buat para orang-orang ”pemilik” jalanan Jakarta.

Sehingga cita-cita menjadikan ibu kota Jakarta menjadi kota yang tertata rapi dan modern, tanpa harus mengorbankan segenap masyarakat marjinal pun segera terlaksana.
Karena bagaimanapun, walau terlelap dalam megahnya dunia hedonisme di Jakarta, pengemis atau masyarakat jalanan adalah segenap bagian yang gak bisa lepas dari Kota ini.





Sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3235973
Thanks to Agan: prastyeah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
>